cari

19 Juli 2011

Ombak

1. Anak adalah tetangga hati, ketika keluarga menghimpun udara.
Tak jarang awalnya seseorang akan menghiba pada pantai
yang memelihara dedauan dan rerumputan.
Tapi pasir mendaur alam, bagi musim ikan lauk adalah pijakan tuts piano sebelum hujan.
Kita sempurnakan obat berstandart dengan keahlian modern.
Ia menempel saat musim panas menyelesaikan kilauann Mataharinya.

2. 
Pada perahu aku hitung gelembung ombak satuan
dan tak kutemukan satu nama pun yang tak tepat dieja jaman.
Dalam keletihan, lipatan gunung meniup embun sebelum fajar.
Pori-pori pesisir mencatatkan nasib pada poster dan iklan dijalan-jalan.
Tapi tak seorang pun mengenal.

3. 
Lengkung kubah dibayangkan gunung pada pesisir,
berharap mendung menyulap kelam setiap tiba petang.
Dari setiap yang dikecap dan diucap,
cuaca mencatat hawa  sejak muara menjelaskan pusara dari bentuk suara.
Ia hadir pada kehadiran yang tak dijelaskan waktunya.

4. 
Lengkung kubah dibayangkan gunung pada pesisir,
berharap mendung menyulap kelam setiap tiba petang.
 Dari setiap yang dikecap dan diucap,
cuaca mencatat hawa  sejak muara menjelaskan pusara dari bentuk suara.
 Ia hadir pada kehadiran yang tak dijelaskan waktunya.

5. Kamboja tak akan membiarkan keseluruhan wadagnya kuning,
meskipun ombak laut berulang kali menyentuhkan bibir  pantainya menjelang fajar.
Dilarungkannya perahu keringat kering pada kilau ikan.
Tapi lautan akan menyibak napas gunung dalam satu tarikan senyumnya.
Saat itu cuaca memilih gelembung riak dalam tanda tanya besar.
Dan kita memasarkan jawaban,
sebagaimaa adzan mengumpulkan ikan tangkapan pada jala.

6. Logika teks seringkali membodohi wadagnya.
Cuaca ini meruntuhkan ambang batas kesadaran.
Anehnya, kita tak menyadari itu sebagai bagian dari inflasi kodrati
dalam mengenali dirinya sendiri.
Bahkan acapkali kita merasa ngeh untuk eksis dalam kondisi itu.
Apakah, iklim menawarkan cuaca lebih dari dua di Indonesia?
Aku kira tidak!
Tapi logika mengadopsi kekurangannya dari dua iklim
yang tak diruangkan oleh dirinya sendiri.

7. Diatas pusara itu, ia tarikan napasnya yang menguning.
Pada keringat gunung ia jelmakan pikiran pada yang hidup.
Pada yang kekal dinisankannya keinginan pada yang wujud.
Pada terahim Ashar yang tak ia kenali lagi.
Dikantonginya muara disetiap muisimnya.
Dan angin melukis setiap gundukan tanahnya,
juga melengkapi hawa dari yang akan
dan sedang kita pikirkan bagi yang ditinggalkannya.

8. Mihrab diujung Kubahmu mengacakan suara
dari setiap bentuk permainan kehendak pada kapital Adzan.
Bocah-bocah  berjingkat membungkam kehendak salib
dari tutur kembang buah Blimbing.
Dan perempuan berjilbab bertangan besi itu melayarkan sampan menjemput ombak.
Dituakannya sapaan keringat,dilipatan sapu tangan warna merah.
Diikatkannya pada ujung rambut selesai mandi junubnya.
Dan ia terikan nama Tuhan. Sembari mengutuki semua yang didengar.
Dan pada yang dilihatnya. Ia petik buah yang diangapnya segar.
Lalu merapatkan bibir dari kebasahan sebutanNya.
Seribu  pintu kubahMu menyibak ombak dalam diam.
Setiap kali kata dimuarakan.
Dan kita tak sempat menghitung ulang.

9. Mereka berjajar dalam bisu,
dari semua bentuk keringat yang yang keluar dari bibirnya ,
melipat gunung pada tebingnya. Paada tiang layarnya yang jenjang.
Ditangkapnya angin dan dilukiskannya warna perak secara sembarang.
Dalam tidur mereka tuhan-tuhan berdatangan menuliskan tanda tangan.
Dari kesempatan tak bertanggal tak berbulan dan tak bertahun.
 Bulan diipelukan kembang, dibayangkan bersilang.
Dan pada kumbang diendusnya keringat, dari setiap jalan beraspal.
Digulungan uang, dikerandakan sifat kelam.
Dan diantarkannya sampai diujung petang.
Hanya untuk menunggu Kamboja luruh dari rantingnya.

10. Secangkir kopi malam tadi mengundang pesisr dalam jamuan menjelag fajar.
Dikulitinya camilan kacang-kacangan dan  dikumpulkannya kulit kacang menjadi sampan.
Melayarlah mimpi dan harapan dari semua kenyataan yang diinginkan lembaran mata uang
yang sudah melahirkan kehendaknya diatas bumi.
Sebelum Matahari benar-benar bulat menyapa harapan,
ia tengah menyulap napas Tuhan menjadi kembang Kamboja diatas bantal tempat tidurnya.
Dan ditanyakannya pada setiap orang yang dijumpainya,
"Apa kabar, tuhanmu?"
Sambil menggemeratakkan kedua rahangnya.
Mendadak seluruh Kereta diatas relnya, ngerem mendadak.

11. Ruh itu menerbangkan titian rambut dibelah tujuh dari seluruh pesisrmu.
Puluhan Perahu mendekam sesudah malam melayarkan sisik ikan daratan
yang ditiupkan perbukitan dan gunung-gunungmu.
Segenap raga berjingkat dari kata-kata dan kapitalnya bermetamorfosis
dari bisu setiap wadag yang diwujudkan pikirannya sendiri.

12. Dibungkusnya Sampan dalam kelopak ombak, pada pergantian waktunya
yang berjingkat meninggalkan jejak-jejak napas kita.

13. Seperti kue lapis, angin menggurui nyiur kelapa pada warna buahnya.
Semua dipesisir tampak berubah menjadi plastik.
Sampan plastik, ikan plastik, pohon kelapa plastik, manusia plastik.
Ia saingi terik matahari sesudah teriknya.
Diperakkannya pasirnya.

14. Aku merangkak melukis pasir dan meninggalkan napasnya pada setiap lubang kubur pikirannya sendiri.
 Ia senggamai shunset sebagaimana wajan mengundangnya dalam sebuah pesta.
 Ludah sum-sumnya menyampaikan kenikmatan wataknya.
Ia mangsa Matahari setiap detiknya dlam hitungan kata, yang selalu dikembalikan ke tepi pesisirnya.
Ia berharap dapat melubangi seluruh pesisir untuk menyembunyikan kamuflasenya
sebagai bagian dari binatang bermata merica dan berkaki tak sewajarnya.

15. Angin tak pernah menyatakan diri pada sebuah cawan.
dan sampan tak pernah menyatakan selesai belajar pada hasil tangkapan.
Dengan berselimut sarung, ia kendalikan air dikencaninya gadis fajar sampai senja.
Ketika itu daratan mencatatkan tarian layarnya per nama. Sebagaimana jala yang ditebarkannya.

16. Menggerakkan jari hanya untuk menjentikkan seekor nyamuk
diujung jari manis kita, pasti membutuhkan hentakan napas.
Sebagaimana cuaca, wadagnya adalah kecerdikan...
samar kuihat tuhan-tuhan memilih huruf kapital dan ombak tampak menggulung kesahajaan,menguliti tebing karang.
jika ikan bertandang bercermin pada gelembung ombaknya.
Maka nyiurmu akan meluruhkan pelepahnya.

17. Disela-sela blimbing percakapan itu selalu menguning
dan lelayu membayangkannya pada gerrakan ikan didalam kolam.

Wadangnya, Diperbincangkannya apa yang paling tersembunyi didalam hati.
Digambarkannya Kelinci dan Babi. Ia pasti tak mengenal rasulnya sendiri.
Didadanya burung-burung itu tampak menguning serta.
Dari kemenduaan buah yang ingin selalu mengenali segala.


18. Dilelapkannya jala diburitan perahu,
disibukannya butiran ombak coba ditemukannnya nasib pada keringat langit-langit keperakannya.
Joran tukang pancing melengkung bak pelangi tanpa warna orange.
"Sebentar mendung!" ujar buritan dan hasil tangkapan.
 tongkol, cumi da udang membelah lautan menjadi pasar.
 Perahu bercadik itu, menidurkan tiang berlayar dari potongan koran mingguan.

19. Ada begitu banyak sepatu sandal dilayarkan dalam bisu,
mula-mula diciuminya hak dari tepi.
Kewajiban pun dilacurkannya pada bisu.
Setiap kaki-kakinya memasuki tempat ibadah.
Tapak berwarna pink ditanggalkannya pada diam.
Ia adalah antrian panjang sebuah pelayaran.
Dalam teriakan memekakkan telinga kaum tuli yang ada.
Tarian ombak adalah ludah moncong ribuan ikan yang sudah dipasarkan.
Sisik-sisiknya dalam butiran ombak memotret tuhan.

20. Kusampaikan pada biduk yang membelah Matahari tenggelam.
Untuk menyayikan ikan-ikan, sebelum sisik-sisiknya dijadikan hiasan souvenir
lembaran dua ribuan dompet pelepah Pisang.
Dayung-dayung dekaplah buritan, tebar-tebar jalamu.
Hirup angin haluan.

21. Gulungan ombak itu telah banyak mencatat semua napas,
sebagaimana daging ikan mengimunisasi hati,
dari semua kecenderungan kemilau kehidupan dunia.
Seperti juga perahumu, ia tak segan pada wadag yang selalu menggantung.

22. Dimanakah kau Camar jika bukan pada sisik-sisik ikanmu? Kedengarannya akan sangat mengherankan,
saat warna orange itu melumuri keringat disekujur tubuhmu....

23. Berada di gulungan ombak dipeisisir pantai, adalah berada dilembaran buku dunia.
Persembahan alam dari setiap noda hitam...

24. Gelembung ombak adalah catatan peristiwa
dimana Adam mempertanyakan Hawa saat hati berubah sewarna senja.
Dan ketika keringat kering merangkaki butiran pasir dari jejak Perahu yang beranjak ke lautan.
Jika bayi  mulai merangkak beranjak dewasa.

25.  Kembang yang selalu mencatat lelayu sebelum pelepah nyiur itu
menuliskan nohtah sejarah pada seutas lontar.
Jika angin membukakan pintu muara.
Senja merayu biru lautmu untuk menjadi orange tanpa harga.
Dan nelayan mempusakai itu sebagai kelahiran.
Lalu bunda mengerdipkan mata.

26.

0 komentar: